Selasa, 18 Desember 2012

UJI AKTIVITAS STARTER DALAM FERMENTASI MAKANAN



Tabel 5.1 Hasil Pengamatan Uji Aktivitas Kultur Yogurt
Starter
Kekentalan
pH
Kadar asam laktat %
0 jam
0,5 jam
1 jam
0 jam
0,5 jam
1 jam
0 jam
0,5 jam
1 jam
LB
+
+
++
7
6
7
0,027
0,021
0,027
ST
+
+
++
6
7
7
0,045
0,045
0,027
LB dan ST
+
+
+
6
7
7
0,027
0,018
0,032
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan :
+                : Tidak kental
++              : Cukup kental
+++           : Kental
Praktikum acara V Uji Aktivitas Starter dalam Fermentasi Makanan, dalam uji aktifitas kultur yoghurt bertujuan untuk mengetahui aktivitas starter yoghurt dalam fermentasi. Prinsip dari praktikum dalam uji aktivitas kultur yoghurt adalah 50 ml susu pasteurisasi dimasukan dalam erlenmeyer selanjutnya susu di panaskan sampai suhu 37oC. Setelah suhu telah mencapai 37oC dibuat pengamatan dari 0 jam, 0,5 jam, dan 1 jam. Susu Pasteurisasi ditambah 4% starter yougurt (Lactobaccilus bulgarius saja, Strepcoccus saja, campuran Lactobaccilus dan Strepcoccus). Kemudian diinkubasi pada suhu 45oC selama 1 jam. Setiap 30 menit mulai awal diamati pH, kekentalan dan kadar asam laktat. Yogurt adalah produk yang diperoleh dari susu yang telah dipasteurisasi kemudian difermentasi dengan bakteri sampai diperoleh bau dan rasa yang khas, dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan (Pusat Standarisasi Industri, 1992). Yogurt adalah koagulum susu yang dihasilkan oleh fermentasi asam laktat yang merupakan aktivitas kultur starter yogurt dari Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus dengan perbandingan 1:1 (Orihara et al., 1992; Jay et al., 2005). Bakteri kokus tumbuh lebih cepat daripada bakteri yang berbentuk batang yang sekaligus merupakan produsen asam tertinggi, sedangkan bakteri yang berbentuk batang menghasilkan flavor dan aroma. Pertumbuhan asosiasi dari dua mikroorganisme tersebut menghasilkan produksi asam laktat yang lebih banyak dibandingkan jika diproduksi oleh masing-masing mikroorganisme secara tunggal. Selain itu asetaldehid lebih banyak diproduksi oleh Lactobacillus bulgaricus jika tumbuh berasosiasi dengan Streptococcus thermophilus (Jay et al., 2005).
Starter yogurt adalah biang yogurt yang mengandung dua strain bakteri yang sedang tumbuh dan berkembang biak. Kultur starter memegang peranan penting dalam pembuatan yogurt karena akan mempengaruhi flavor serta tekstur yogurt. Menurut Helferich dan Westhoff (1980), yogurt yang menggunakan kultur starter campuran dari beberapa bakteri asam laktat akan menghasilkan nilai organoleptik yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk kultur tunggal. Kultur starter yang umumnya digunakan dalam pembuatan yogurt merupakan kultur campuran dari ST dan LB. 
Dari hasil praktikum acara V uji aktivitas kultur yogurt pada pengamatan kekentalan dengan starter  Lactobacillus bulgaricus pada jam ke-0 kenampakannya adalah tidak kental, setelah 0,5 jam kenampakkanya tetap tidak kental, dan setelah 1 jam kenampakkanya cukup kental. Sedangkan pada uji aktivitas kultur yoghurt dengan starter Streptococcus thermophilus pada jam ke-0 kenampakkanya tidak kental, setelah 0,5 jam kenampakanya tetap tidak kental, sedangkan setelah 1 jam kenapakkanya menjadi cukup kental. Untuk Starter Lactobacillus bulgaricus  dan Streptococcus thermophilus pada jam ke-0 kenapakkanya tidak kental, setelah 0,5 jam kenampakkanya tidak kental dan setelah 1 jam kenampakkanya tetap tidak kental. Pada pengamatan kekentalan pada uji aktivitas starter ini semakin lama tingkat kekentalannya akan semakin tinggi jika waktu yang dibutuhkan untuk fermentasi semakin lama pula. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas starter yang semakin meningkat pula (Anonim, 2012). Dari data hasil pengamatan tersebut untuk starter Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus jika dibandingkan dengan teori belum sesuai atau menyimpang. Hasil pengamatan menunjukan tingkat kekentalan tidak berubah dari menit ke-0 sampai 1 jam kemudian. Hal ini bisa  disebabkan karena ketidaktelitian praktikan dalam melakukan uji aktivitas kultur yoghurt.
Pada pengamatan untuk pengukuran pH dengan menggunakan kertas pH didapatkan hasil data untuk starter Lactobacillus bulgaricus pada jam ke-0 7, setelah 0,5 jam terjadi penurunan yaitu menjadi 6, dan setelah 1 jam kembali lagi menjadi 7. Untuk starter Streptococcus thermophilus pada jam ke-0 pH yang didapatkan 6, setelah 0,5 jam meningkat menjadi 7, dan setelah 1 jam pH tetap 7. Pada starter Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus  pada jam ke-0 menunjukan pH sebesar 6, setelah 0,5 jam menunjukan pH sebesar 7 dan setelah 1 jam menunjukan pH sebesar 7. Dari hasil tersebut kisaran pH yang didapatkan sekitar 6-7. Hal ini tidak sesuai dengan teori, nilai pH dari penelitian Sitrait (1993) dan Cahyadi et al. (1994/1995) adalah 4,36-4,8 ternyata nilai pHnya sedikit lebih rendah dibandingkan penelitian ini (6-7). Pendapat Sitrait sesuai dengan pendapat Kosikowski (1977), bahwa produk fermentasi dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam membentuk asam laktat yang ditentukan oleh jumlah dan jenis starter yang digunakan. Ditambahkan pula bahwa untuk simbiosis bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus akan menghasilkan pH yang lebih rendah dan keasaman  setara asam laktat yang lebih tinggi daripada cultur tunggal. Porter (1975), menyatakan bahwa penggumpalan pada susu fermentasi dapat terjadi akibat tercapainya titik isoelektrik pada pH 4,6; saat casein berubah strukturnya menjadi gel. Pendapat ini mendukung adanya kenyataan bahwa tekstur susu fermentasi yogurt dan adalah menggumpal, karena mendekati titik isoelektrik. Secara umum, pH susu fermentasi pada penelitian adalah berkisar 4,7 hingga 5,9. Jadi antara teori dengan data praktikum yang didapat tidak sama hal ini disebabkan oleh faktor ketidak telitian praktikan dalam praktikum, alat yang digunakan tidak steril. Dan dari hasil pengamatan uji aktivitas kultur yogurt yang ada pada semua starter yang digunakan mengalami kenaikan pH menjadi 7. Hal ini menyimpang dengan teori bahwa seharusnya semakin lama proses penyimpanan pada susu maka pHnya semakin rendah atau asam. Tetapi dalam hasil praktikum yang didapat kebalikanya yaitu susu menjadi basa. Penyimpangan-penyimpangan diatas dipengaruhi oleh beberapa faktor seperi kesalahan prosedur yang dilakukan praktikan dan bahan yang digunakan sudah tidak layak kembali untuk dipakai. Selama proses fermentasi terjadi penguraian laktosa susu menjadi asam laktat menyebabkan peningkatan keasaman, namun terjadi penurunan nilai pH (Frazier, 1988).
Untuk pengamatan kadar asam laktat dari hasil perhitungan yang diperoleh pada starter Lactobaccilus bulgarius pada jam ke-0 didapatkan kadar asam laktat sebesar 0,027 %, setelah 0,5 jam kadar asam laktat menurun menjadi 0,021 %, dan setelah 1 jam kadar asam laktat meningkat menjadi 0,027 %. Pada starter ini terjadi ketidak stabilan dalam perolehan kadar asam laktat. Selain itu kadar asam laktat setelah 1 jam kembali lagi hasilnya seperti semula pada menit ke-0 yaitu sebesar 0,027 %. Pada starter Streptococcus thermophillus kadar asam laktat untuk jam ke-0 sebesar 0,045 %, setelah 0,5 jam tetap 0,045 %, dan setelah 1 jam turun menjadi 0,027 %. Sedangkan pada starter Lactobaccilus bulgarius dan Strepcoccus thermophillus kadar asam laktat yang didapatkan pada menit ke-0 sebesar 0,027 %, setelah 0,5 jam kadar asam laktat turun menjadi 0,018 % dan setelah 1 jam kadar asam laktat naik menjadi 0,032 %. Dari Hasil pengamatan kadar asam laktat tersebut data yang didapatkan tidak konstan selain itu dari ke tiga starter kadar asam laktat yang didapatkan berbeda-beda. Tidak konstan disini berarti terjadi penurunan dan kenaikan secara derastis pada menit-menit tertentu. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan bakteri asam laktat yang digunakan. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat Hui (1993), keasaman hasil titrasib pada yogurt tidak boleh lebih dari 0,9%. Tinggi rendahnya kadar asam laktat setiap penelitian adalah berbeda-beda. Lampert (1975) menyatakan bahwa kecepatan terbentuknya asam laktat tergantung pada jumlah dan macam bakteri yang mencamari susu. Hal ini sesuai dengan pendapat Kosikowski (1977) bahwa tinggi rendahnya kadar asam laktat dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam membentuk asam laktat yang ditentukan oleh jumlah dan jenis starter yang digunakan. rasio bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus juga akan mempengaruhi kadar asam laktat (Tamime et.al., 1979).
Kadar keasaman yogurt lebih rendah daripada kadar keasaman yakult. Hal ini karena simbiosis bakteri Streptococcus thermophillus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus akan menghasilkan kadar keasaman yang lebih tinggi daripada cultur tunggal (Toba et. al., 1982). Semakin banyak dan semakin mampu bakteri yang mencemari susu untuk memproduksi asam laktat, semakin tinggi asam laktat yang terbentuk pada susu fermentasi. Keasaman yogurt hasil penelitian Kehagias et al, (1984), dapat mencapai 1,16%. Toba et al (1982) menambahkan bahwa keasaman susu yang difermentasi dengan bakteri asam laktat dapat meningkat hingga 1,26%. Perbedaan hasil titrasi keasaman pada masing-masing penelitian antara lain tergantung pada suhu inkubasi, lama inkubasi, dan jumlah starter yang diinokulasi. Menurut Kosikowski (1977), keasaman produk fermentasi dipengaruhi oleh kemampuan starter dalam membentuk asam laktat yang ditentukan oleh jumlah dan jenis starter yang digunakan. Yogurt yang berkualitas baik mempunyai kandungan asam laktat dalam jumlah yang cukup serta mempunyai tingkat keasaman 0.85 – 0.95% dan pH 4.4 – 4.5.
Dari hasil data praktikum diatas kadar asam lemak dari urutan yang tertinggi sampai terendah adalah untuk yang tertinggi  adalah dengan menggunakan starter LB dan ST (Lactobaccilus bulgarius dan Strepcoccus thermophillus), kemudian ST (Strepcoccus thermophillus), dan yang terendah LB (Lactobaccilus bulgarius). Hal ini sudah sesuai dengan teori. Menurut Helferich dan Westhoff (1980), yogurt yang menggunakan kultur starter campuran dari beberapa bakteri asam laktat akan menghasilkan nilai organoleptik yang lebih baik dibandingkan dengan bentuk kultur tunggal. Kultur starter yang umumnya digunakan dalam pembuatan yogurt merupakan kultur campuran dari ST dan LB. Pada perhitungan kadar asam laktat ini hasil yang didapat bahwa kadar asam laktat tidak signifikan atau mangalami penyimpangan dimana seharusnya semakin lama waktu inkubasi, maka semakin banyak pula NaOH yang dibutuhkan, sehingga kadar asam laktat yang dihasilkan pun semakin meningkat. Pada tiap starter ada yang dari menit ke 0 kemudian menit ke 30 menit mengalami penurunan, ada juga yang mengalami peningkatan, begitu pula dengan menit ke 60 ada yang mengalami peningkatan kadar asam laktat, ada juga yang mengalami penurunan. Hal ini dimungkinkan karena adanya penggojokan yang kurang homogen setelah sampel ditambahkan dengan starter bisa juga disebkan karena adanya kebocoran pada buret pada saat proses tritasi yang menyebabkan volume NaOH yang ditambahkan terlalu berlebih dan menyebabkan kadar asam laktat yang tidak signifikan dan ketidak telitian praktikan pada saat praktikum.









Tabel 5.2 Hasil Pengamatan Aktivitas Ragi Roti
Kelompok
Sampel
Pertambahan Volume
Volume Awal
Volume Akhir
4
0
0 ml
25 ml
25 ml
15
5 ml
25 ml
30 ml
30
10 ml
30 ml
40 ml
45
5 ml
40 ml
45 ml
60
0 ml
45 ml
45 ml
6
0
0 ml
25 ml
25 ml
15
5 ml
25 ml
30 ml
30
3 ml
30 ml
33 ml
45
2 ml
33 ml
35 ml
60
1 ml
35 ml
36 ml
Sumber: Laporan Sementara
Ragi roti atau yeast adalah mikroorganisme hidup jenis khamir yang sering disebut Saccharomyces cerevisiae, berkembang biak melalui cara membelah diri atau budding. Yeast memfermentasikan adonan sehingga menghasilkan gas karbondioksida yang akan mengembangkan adonan. Jika proses fermentasi terkendali dengan baik, maka akan menghasilkan produk bakeri seperti roti dan donat yang baik, dalam arti mempunyai volume dan tekstur yang baik serta cita rasa yang enak. Selama proses fermentasi akan terbentuk CO2 dan ethyl alkohol. Gula-gula sederhana seperti glukosa dan fruktosa digunakan sebagai substrat penghasil CO2. Gas CO2 yang terbentuk menyebabkan adonan roti mengembang dan alkohol berkontribusi dalam membentuk aroma roti. Kondisi fermentasi yang ideal pada temperatur 30-38 °C dan kelembaban 75-80% (Anonim, 2012).
Tujuan dari praktikum pengamatan aktivitas ragi roti adalah untuk mengetahui mikroba pada roti. Prinsip dari praktikum aktivitas ragi roti adalah 1 gram ragi roti dilarutkan dalam 30 ml air hangat. Selanjutnya dicampur dengan 25 gram tepung terigu sedikit demi sedikit dalam suatu mangkuk atau gelas. Adonan dibuat dengan cara ditekan-tekan dengan menggunakan sendok selama 5 menit. Selanjutnya adonan dimasukan dalam gelas ukur yang sebelumnya telah dilapisi minyak. Kemudian adonan di inkubasi pada suhu kamar selama 90 jam dan diamati pertambahan volumenya setiap 15 menit selama 90 menit.
Berdasarkan data pengamatan aktivitas ragi roti yang telah didapatkan untuk kelompok 4 pertambahan volume dari menit ke-0, hingga menit ke-60 adalah 0 ml, 5 ml, 10 ml, 5 ml, dan 0 ml. Untuk kelompok 6 pertambahan volume adonan dari menit ke-0 sampai menit ke-60 adalah 0 ml, 5 ml, 3 ml, 2 ml, dan 1 ml. Dari kedua hasil data praktikum pengamtan aktivitas ragi roti tentang pertambahan volume yang terbesar pada kelompok 4 pada menit ke-30 sebesar 10 ml dan pertambahan volume yang paling rendah pada kelompok 4 juga yaitu sebesar 0 ml pada menit ke-60. Urutan pertambahan volume dari yang tertinggi sampai terendah pada kelompok empat adalah pada menit 30’, 45’, 15’, 60’, 0’. Sedangkan untuk kelompok lima urutan pertambahan volume dari tertinggi sampai terendah adalah pada menit 15’, 30’, 45’, 60’, 0’. Dari data yang didapatkan pertambahan volume pada tiap menit tidak konstan, kadang mengalami peningkatan dan pada menit selanjutnya mengalami penurunan. Banyak faktor yang mempengaruhi dalam proses ini antara lain suhu, ketidaktelitian praktikan dalam praktikum, perbandingan jumlah ragi yang tidak sesuai. Dalam pengamatan ragi roti ini termasuk fermentasi buatan yaitu fermentasi yang sengaja dibuat oleh manusia. Dalam hasil praktikum ini sudah sesuai dengan teori bahawa sampel mengalami pertambahan volume. Dalam proses fermentasi, ragi mengubah gula dan karbohidrat di dalam adonan menjadi gas karbondioksida (CO2) dan alkohol. Terbentuknya zat inilah yang membuat adonan mengembang, membentuk pori-pori, dan beraroma harum ketika dipanggang (Sutomo, 2007).  
Mekanisme fermentasi pada ragi roti adalah ragi menghasilkan gas karbondioksida (CO2) selama fermentasi hal ini menyebabkan adonan berkembang. Gas ini kemudian terperangkap dalam jaringan gluten yang menyebabkan roti bisa mengembang. Komponen lain yang terbentuk selama proses fermentasi adalah asam dan alkohol yang berkontribusi terhadap rasa dan aroma roti, namun alkohol akan menguap dalam proses pemanggangan roti. Pengenalan karakteristik ragi dari berbagai produsen tentu akan memudahkan para baker untuk mengetahui ragi yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan.   
Dalam proses fermentasi, ragi mengubah gula dan karbohidrat di dalam adonan menjadi gas karbondioksida (CO2) dan alkohol. Terbentuknya zat inilah yang membuat adonan mengembang, membentuk pori-pori, dan beraroma harum ketika dipanggang. Faktor yang mempengaruhi pengembangan roti : pengadukan (pencampuran), pengadukan membuat adonan menjadi homogen, selain itu membentuk dan melunakkan gluten yang memungkinkan adonan menahan gas ketika proses pengembangan (fermentasi). Pengadukan yang terlalu singkat menyebabkan adonan lengket, tidak elastis, dan tidak lembut. Sebaliknya, pengadukan yang terlalu lama mengakibatkan adonan berair, lengket, lunak, dan gluten kehilangan elastisnya. Fermentasi, frementasi yang terlalu lama menyebabkab adonan over proof (adonan menjadi lembek dan berair). Fermentasi yang terlalu singkat menyebabkan roti keras dan berpori-pori. Waktu yang diperlukan untuk fermentasi adalah 30 menit, fermentasi menjadi semakin lama pada suhu yang lebih dingin. Suhu ideal untuk fermentasi roti adalah 34-35°C. suhu terlalu dingin menyebabkan proses fermentasi berjalan lambat, sedangkan suhu terlalu panas menyebabkan fermentasi berjalan terlalu cepat
(Sutomo, 2007).
Pembentukan gas pada proses fermentasi sangat penting karena gas yang dihasilkan akan membentuk struktur seperti busa, sehingga aliran panas ke dalam adonan dapat berlangsung cepat pada saat baking. Panas yang masuk ke dalam adonan akan menyebabkan gas dan uap air terdesak ke luar dari adonan, sementara terjadi proses gelatinisasi pati sehingga terbentuk struktur frothy. Fermentasi adonan didasarkan pada aktivitas-aktivitas metobolis dari khamir dan bakteri asam laktat. Aktivitas mikroorganisme ini pada kondisi anaerob akan menghasilkan metabolit fungsional yang penting pada pembentukkan adonan. Dengan mengendalikan parameter proses fermentasi dan metode preparasi adonan dapat dimungkinkan mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dan enzim untuk menghasilkan adonan roti yang dikehendaki seperti volume, konsistensi, dan pembentukkan metabolit.

Tabel 5.3 Hasil Pengamatan Aktivitas Ragi Tape
Kelompok
Sampel
Intensitas Warna Biru
5
0 jam
+
0,5 jam
++
1 jam
+++
7
0 jam
+
0,5 jam
++
1 jam
++++
Sumber: Laporan Sementara
Keterangan Intensitas Warna:
+                : Biru                           ++++               : Ungu Tua
++              : Biru tua                  +++++                : Hitam
+++           : Ungu
Tape merupakan makanan fermentasi tradisional yang sudah tidak asing lagi. Tape dibuat dari beras, beras ketan, atau dari singkong (ketela pohon). Berbeda dengan makanan-makanan fermentasi lain yang hanya melibatkan satu mikroorganisme yang berperan utama, seperti tempe atau minuman alkohol, pembuatan tape melibatkan banyak mikroorganisme. Mikroorganisme dari kelompok kapang akan menghasilkan enzim-enzim amilolitik yang akan memecahkan amilum pada bahan dasar menjadi gula-gula yang lebih sederhana (disakarida dan monosakarida). Proses tersebut sering dinamakan sakarifikasi (saccharification). Kemudian khamir akan merubah sebagian gula-gula sederhana tersebut menjadi alkohol. Inilah yang menyebabkan aroma alkoholis pada tape. Semakin lama tape tersebut dibuat, semakin kuat alkoholnya. Pada beberapa daerah, seperti Bali dan Sumatera Utara, cairan yang terbentuk dari pembuatan tape tersebut diambil dan diminum sebagai minuman beralkohol.
Praktikum pengamatan aktivitas ragi tape ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas ragi tape dalam bahan. Prinsip dari praktikum ini adalah 50 ml bubur tepung beras encer dimasukkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml, ditambahkan masing-masing 2 gr ragi tape yang telah dihancurkan. Dibuat masing-masing pengamatan jam ke-0, 0,5 dan 1. Setelah diuaduk rata, dilakukan inkubasi di dalam inkubator suhu 30oC/suhu ruang selama 60 menit. Dan pada menit ke-0, 30 dan 60 disampling dan ditambah 1 tetes larutan iod. Diamati intensitas warna biru yang terbentuk. Berdasarkan hasil data pengamatan aktivitas ragi tape untuk kelompok 5 pada menit ke-0 intensitas warna yang terbentuk adalah biru, setelah 0,5 jam intensitas warnanya menjadi biru tua, dan setelah 1 jam warnanya menjadi ungu. Untuk kelompok 7 dengan perlakuan yang sama pada menit ke-0 intensitas warna yang terbentuk adalah biru setelah 0,5 jam intensitas warnanya menjadi biru tua dan setelah 1 jam menjadi ungu tua. Dari kedua kelompok tersebut ternyata untuk hasil akhir terbentuknya intensitas warna berbeda untuk kelompok 5 hasil akhirnya menjadi warna ungu sedangkan untuk kelompok 7 intensitas warna yang terbentuk adalah ungu tua. Hal yang membedakan hasil warna yang didapatkan dari kedua kelompok tersebut adalah  perlakuan dari praktikan yang tidak sama sehingga ada beberapa bahan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit. Hal ini dapat mempengaruhi warna yang terbentuk. Hasil dari praktikum tersebut sudah sesuai dengan teori. Warna ungu pada percobaan ini menunjukkan adanya kandungan alkohol pada tape tersebut. Semakin pekat atau hitam warna yang dihasilkan maka kandungan alkohol yang dihasilkan semakin besar pula. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton. Disini terdapat perubahan dari glukosa menjadi alkohol yang terdapat dalam tape.
Fermentasi dibedakan menjadi 2 yaitu spontan dan tidak spontan hanya dipengaruhi adanya kesengajaan atau tidak pada penambahan starter dalam adonan. Secara umum fermentasi tidak spontan terjadi dengan penambahan ragi roti, tape, yogurt. Fermentasi dipengaruhi oleh faktor aktovitas starter, banyak sedikitnya jumlah starter yang ditambahkan, pH, suhu. Mikroba umum tumbuh pada kisaran pH 6-8, hanya saja seperti khamir dan bakteri asam laktat tumbuh baik pada kisaran pH 3-6. Dalam praktikum ini termasuk fermentasi tidak sepontan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar