Senin, 08 April 2013

HEWANI



Cara memilih daging yang baik ialah dengan melihat warna, mencium baunya dan merabanya. Daging yang baik warnanya merah segar,  baunya aromatis, konsistensi liat, rasa agak manis dan khas, terdiri dari serat-serat bergaris melintang yang arahnya sejajar. Bila menyimpang dari tanda-tanda tersebut diatas misalnya daging sudah berbau tidak enak, warna merah hitam atau bila ditekan dengan ujung jari meninggalkan bekas, maka kualitas daging itu sudah tidak baik lagi (Muzarnis, 1982). Tujuan dari acara I pembuatan produk dan uji kualitas produk daging secara umum adalah dapat melakukan pengawetan dan pengolahan daging dengan baik dan benar sehingga dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas daging. Uji kualitas produk daging yang pertama adalah uji eber. Prinsip kerja uji eber adalah mengambil sedikit daging yang akan diuji, dicincang, dan dilarutkan dengan menggunakan larutan eber yang terbuat dari dietil eter, HCl pekat dan alcohol 96% dengan perbandingan 1:1:3 Tujuan dari  uji eber adalah untuk mengetahui kualitas produk daging. Daging dinyatakan busuk jika  pada uji ini ditandai dengan terjadinya pengeluaran asap di dinding tabung, dimana rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl (gas). Semakin banyak asap pada dinding tabung, maka semakin jelek kualitas dari daging tersebut atau daging tersebut semakin busuk.
Sampel yang digunakan pada acara 1 uji eber adalah daging disimpan pada suhu ruang dan daging yang disimpan pada suhu dingin. Pada uji ini dilakukan pengamatan 3 kali pada hari ke-0, 2 dan 7. Semakin banyak asap yang timbul maka akan semakin banyak tanda + (plus) yang dihasilkan. Dari hasil praktikum uji eber untuk daging yang disimpan pada suhu ruang pada kelompok 1 hari ke-0 (+) tidak ada asap, hari ke-2 (+++) terbentuk asap sedang dan untuk hari ke-7 (++++) banyak asap yang terbentuk. Jika dibandingkan dengan kelompok 3 dengan sampel yang sama hari ke-0 sama tidak ada asap sedangkan pada hari ke-2 (+++) terbentuk banyak asap dan ada gelembung, hari ke-7 (+++++) asap yang terbentuk sangat banyak dan banyak gelembung gas. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan ini adalah daging yang kesegara untuk daging yang diuji berbeda, ketelitian praktikan saat pengamatan, kesalahan saat melakukan uji. Sedangkan untuk daging yang disimpan pada suhu dingin (freezer) untuk kelompok 2 pada hari ke-0 (+) tidak terbentuk asap, hari ke-2 (++) ada sedikit asap, hari ke-7 (+++) asap yang terbetuk sedang. Jika dibandingkan kelompok 4 yang mana dengan sampel yang sama terdapat perbedaan pada hari ke-0 dan ke-2. Untuk hari ke-0 (++) ada sedikit asap dan untuk hari ke-2 asap yang terbentuk sedang sama dengan hari ke-7.
Dari hasil praktikum tersebut dapat disimpulkan bahwa penyimpanan yang paling baik adalah daging yang disimpan pada suhu dingin (freezer) dikemas menggunakan plastik PE karena asap yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan sampel daging pada suhu ruang. Metode penyimpanan refrigerasi adalah penyimpanan pada suhu di atas titik beku daging, daya tahan bahan pangan yang disimpan pada temperatur refrigerasi hanya sementara, yaitu berkisar dari antara beberapa hari sampai beberapa minggu bergantung pada bagian daging dan penanganan daging sebelumnya. Prinsip utama dari penanganan daging dengan cara penyimpanan refregerasi yang harus diperhatikan adalah bahwa temperatur penyimpanan daging harus tercapai secepat mungkin setelah pemotongan ternak ataupun pengolahan. Suhu refrigerasi tidak dapat mematikan semua mikoorganisme yang ada di dalam daging, tetapi hanya menghambat kecepatan pertumbuhan miroorganisme dan reaksi-reaksi kimia dan biokimia di dalam daging, sehingga penyimpanan cara ini disebut sebagai usaha penyimpanan, bukan sebagai usaha pengawetan. Salah satu keuntungan dari daging yang disimpan dengan cara refrigerasi adalah sifat organoleptik (rasa, tekstur, kenampakkan, flavor, aroma) dan nilai gizinya hampir tidak dapat dibedakan dengan karakteristik yang dimiliki daging segar. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyimpanan daging di dalam refrigerator, yaitu: panas spesifik daging, berat dan ukuran daging, jumlah lemak yang ada pada permukaan daging, jumlah daging di dalam ruang pendingin, temperatur alat pendingin. Dapat diamati bahwa semakin lama daging disimpan maka akan semakin banyak asap dan gelembung yang terbentuk, sehingga semakin busuk daging yang dihasilkan. Pembusukan ini terjadi karena aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan amonia. Kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh lingkungan sekitar, oleh karena itu diperlukan penanganan yang baik.
Tabel 1.2 Hasil Pengamatan Uji pH pada Daging
Kelompok
Sampel
Plastik
pH hari ke
0
2
7
1
Daging disimpan suhu ruang
PP
7
8
9
2
Daging disimpan suhu dingin
PE
7
7
8
3
Daging disimpan suhu ruang
PE
7
8
9
4
Daging disimpan suhu dingin
PP
7
7
8
Sumber: Laporan Sementara
 Uji kualitas produk daging yang kedua adalah uji pH. Prinsip kerja dari uji pH adalah sampel dicincang, ditambah aquades dan diuji dengan menggunakan kertas indicator pH. pH merupakan faktor penentu dari pertumbuhan mikroba, maka pH akhir dari daging sangat penting untuk ketahanan penyimpanan daging.  Nilai pH otot (otot bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut daging) saat hewan hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral).  Setelah hewan disembelih (mati), nilai pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam laktat.  Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai pH sekitar  7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH akhir sekitar 5,5-5,6.  Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian).   Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah 5,3.  Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010).
Pada praktikum uji pH sampel yang digunakan adalah daging yang disimpan pada suhu ruang dan daging yang disimpan pada suhu dingin . Praktikum dilakukan dengan pengamatan selama seminggu. Pengamatan hari ke-0, ke-2, dan ke-7. Pengamatan ini dilakukan dengan menggunakan kertas indikator pH. Dari hasil praktikum uji pH sampel daging yang disimpan pada suhu ruang  untuk kelompok satu didapatkan pH pada hari ke-0 adalah 7, hari ke-2 adalah 8 dan hari ke-7 9. Begitu juga pada kelompok 3 dengan sampel yang sama pH yang dihasilkan juga sama. Sedangkan pada sampel daging yang disimpan pada suhu dingin (freezer) pH yang dihasilkan daging  untuk kelompok 2 dan 4 sama. Pada hari ke-0 didapatkan pH 7, hari ke-2 pH yang dihasilkan sebesar 7 dan untuk hari ke-7 pH yang dihasilkan sebesar 8. Dari hasil praktikum tersebut penyimpanan yang baik adalah pada suhu freezer karena pH yang dihasilkan tidak terlalu basa. Hasil praktikum ini jika dibandingkan dengan teori tidak sesuai. Standar pH daging hewan sehat dan cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama 24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH nya akan kembali ke 7. Terbentuknya asam laktat menyebabkan penurunan pH daging dan menyebabkan kerusakan struktur protein otot dan kerusakan tersebut tergantung pada temperatur dan rendahnya pH. Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985).
Faktor-faktor yang menyebaban ketidak sesuaian hasil praktikum dengan teori adalah kesalahan praktikan saat melakukan uji. Pada beberapa hewan penurunan pH terjadi pada jam-jam pertama setelah hewan dipotong, dan akan stabil pada pH sekitar 6,5 – 6,8. ada juga hewan dimana penurunan pHnya terjadi dengan cepat dan mencapai 5,4 – 5,5 dalam jam pertama setelah eksanguinasi. Menurut Buckle et al. (1987) pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu daging. pH rendah (5.1-6.1) menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka sehingga sangat baik untuk pengasinan, berwarna merah muda cerah sehingga disukai oleh konsumen, mempunyai flavor yang lebih disukai dan mempunyai stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan oleh mikroorganisme. pH tinggi (6.2-7.2) menyebabkan daging mempunyai struktur tertutup atau padat dengan warna merah ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme.
Dari seluruh hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa semakin lama daging akan mengalami kerusakan atau sering disebut dengan pembusukan. Hampir semua bakteri dapat tumbuh optimal pada pH 7 dan tidak akan tumbuh pada pH 4 atau pH di atas 9. Pembusukan dapat terjadi karena aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan ammonia. Pada umumnya, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging ada dua macam yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada tidaknya substansi pengahalang atau penghambat. Faktor ekstrinsik, adalah temperatur, kelembaban relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz, 1992). Penanganan daging yang baik harus dimulai sejak ternak itu sebelum dipotong, pada saat pemotongan dan setelah pemotongan.
Tabel 1.3 Hasil Pengamatan Berat Daging Selama Penyimpanan
Kelompok
Sampel
Berat (gram)
Keterangan
Hari ke 0
Hari ke 2
Hari ke 7
1
Daging Segar
5


Suhu Ruang
Daging I
5
4,4

Daging II
5
4,4
3,4
2
Daging Segar
5


Suhu Refil
Daging I
5
3,9

Daging II
5
3,9
3,4
3
Daging Segar
5


Suhu Ruang
Daging I
5
3,7

Daging II
5
3,7
4,5
4
Daging Segar
5


Suhu Refil
Daging I
5
4,5

Daging II
5
4,5
3,3
Sumber: Laporan Sementara
Pengamatan berat daging sealama penyimpanan bertujuan untuk mengetahui apakah ada perubahan berat selama penyimpanan. Menurut Wismer-Pedersen (1971), kenaikan berat dapat terjadi karena peran mikroorganisme yang ada di daging terutama mikroorganisme pembusuk. Daya ikat air oleh protein disebut WHC (Water Holding Capacity) yaitu kemampuan daging untuk menahan air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Pada praktikum acara I untuk mengetahui kualitas daging selain dengan menggunakan uji eber dan uji pH juga dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap berat daging selama penyimpanan. Sampel yang digunakan dalam acara ini adalah menggunakan daging yang masih segar dengan berat 5 gram daging sapi, tetapi untuk kelompok 1 dan 3 daging disimpan pada suhu ruang, sedangkan untuk kelompok 2 dan 4 daging disimpan pada suhu refill atau dingin. Selain itu kemasan yang digunakan untuk penyimpanan daging juga berbeda untuk kelompok 2 dan 3 menggunakan plastik PE sedangkan kelompok 1 dan 4 menggunakan plastik PP. Penyimpanan daging dilakukan selama 7 hari dan diamati 3 kali yaitu pada hari ke-0, 2 dan ke-7. Mekanisme kerja dari pengamatan berat daging selama penyimpanan adalah pertama daging dipotong dan ditimbang sebesar 5 gram, kemudian daging dikemas menggunakan plastik dan disimpan pada perlakuan penyimpanan masing-masing yaitu pada suhu dingin (refill) dan suhu ruang. Dilakukan pengamatan pada hari ke-0, 2 dan 7 dengan menimbang sampel sesuai perlakuan masing-masing.
Dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan untu kelompok 1 daging yang disimpan pada suhu ruang dengan menggunakan plastik PP pada hari ke-2 dihasilkan berat sebesar 4,4 gram, hari ke-7 sebesar 3,4 gram. Sedangkan untuk kelompok 3 dengan sampel dan suhu penyimpanan yang sama tetapi menggunakan plastik PE pada hari ke-2 didapatkan berat sebesar 3,7 gram dan hari ke-7 4,5 gram. Untuk kelompok 2 dengan sampel daging disimpan pada suhu refil menggunakan plastik PP didapatkan berat untuk hari ke-2 sebesar 3,9 gram, hari ke-7 3,4 gram. Sedangkan kelompok 4 dengan menggunakan plastik PP, untuk hari ke-2 beratnya sebesar 4,5 gram dan hari ke-7 beratnya sebesar 3,3 gram Dari hasil tersebut susut berat yang paling tinggi adalah daging yang disimpan pada suhu refil dengan menggunakan platik PP. Sedangkan daging yang mengalami penyusutan berat yang paling sedikit adalah daging yang disimpan pada suhu ruang dengan menggunakan plastik PE. Dapat disimpulakan bahwa kualitas daging yang baik adalah daging yang disimpan dengan menggunakan plastik PP pada suhu dingin atau refill. Sedangkan daging yang kualitasnya paling buruk adalah daging yang disimpan dengan menggunakan plastik PE pada suhu ruang. Hal ini sudah sesuai dengan teori. Bahwa daging yang disimpan pada suhu dingin  terjadi proses penguapan dari dalam daging dan keluarnya weep dari dalam daging sehingga akan menurunkan kadar air dalam daging. Penurunan kadar air mempengaruhi berat daging. Semakin rendah suhu penyimpanan daging maka semakin banyak kadar air yang hilang sehingga daging menjadi keriput. Penyimpanan pada suhu ruang menyebabkan daging cepat rusak akibat dari bertambahnya kadar air pada daging. Bertambahnya kadar air pada daging disebabkan karena daging mampu menahan air yang ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan.Hal tersebut dapat menyebabkan mikroba dapat tumbuh dan berkembang biak terutama mikroba pembusuk (Forrest, 1975).