Cara memilih daging yang baik ialah
dengan melihat warna, mencium baunya dan merabanya. Daging yang baik warnanya
merah segar, baunya aromatis, konsistensi liat, rasa agak manis dan khas,
terdiri dari serat-serat bergaris melintang yang arahnya sejajar. Bila
menyimpang dari tanda-tanda tersebut diatas misalnya daging sudah berbau tidak
enak, warna merah hitam atau bila ditekan dengan ujung jari meninggalkan bekas,
maka kualitas daging itu sudah tidak baik lagi (Muzarnis, 1982). Tujuan dari
acara I pembuatan produk dan uji kualitas produk daging secara umum adalah
dapat melakukan pengawetan dan pengolahan daging dengan baik dan benar sehingga
dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas daging. Uji
kualitas produk daging yang pertama adalah uji eber. Prinsip kerja uji eber
adalah mengambil sedikit daging yang akan diuji, dicincang, dan dilarutkan
dengan menggunakan larutan eber yang terbuat dari dietil eter, HCl pekat dan
alcohol 96% dengan perbandingan 1:1:3 Tujuan dari uji eber adalah untuk mengetahui kualitas produk
daging. Daging dinyatakan busuk jika pada
uji ini ditandai dengan terjadinya pengeluaran asap di dinding tabung, dimana
rantai asam amino akan terputus oleh asam kuat (HCl) sehingga akan terbentuk NH4Cl
(gas). Semakin banyak asap pada dinding tabung, maka semakin jelek kualitas
dari daging tersebut atau daging tersebut semakin busuk.
Sampel yang digunakan pada
acara 1 uji eber adalah daging disimpan pada suhu ruang dan daging yang
disimpan pada suhu dingin. Pada uji ini dilakukan pengamatan 3 kali pada hari
ke-0, 2 dan 7. Semakin banyak asap yang timbul maka akan semakin banyak tanda +
(plus) yang dihasilkan. Dari hasil praktikum uji eber untuk daging yang
disimpan pada suhu ruang pada kelompok 1 hari ke-0 (+) tidak ada asap, hari
ke-2 (+++) terbentuk asap sedang dan untuk hari ke-7 (++++) banyak asap yang
terbentuk. Jika dibandingkan dengan kelompok 3 dengan sampel yang sama hari
ke-0 sama tidak ada asap sedangkan pada hari ke-2 (+++) terbentuk banyak asap
dan ada gelembung, hari ke-7 (+++++) asap yang terbentuk sangat banyak dan
banyak gelembung gas. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan ini adalah
daging yang kesegara untuk daging yang diuji berbeda, ketelitian praktikan saat
pengamatan, kesalahan saat melakukan uji. Sedangkan untuk daging yang disimpan
pada suhu dingin (freezer) untuk kelompok 2 pada hari ke-0 (+) tidak terbentuk
asap, hari ke-2 (++) ada sedikit asap, hari ke-7 (+++) asap yang terbetuk
sedang. Jika dibandingkan kelompok 4 yang mana dengan sampel yang sama terdapat
perbedaan pada hari ke-0 dan ke-2. Untuk hari ke-0 (++) ada sedikit asap dan
untuk hari ke-2 asap yang terbentuk sedang sama dengan hari ke-7.
Dari hasil praktikum
tersebut dapat disimpulkan bahwa penyimpanan yang paling baik adalah daging
yang disimpan pada suhu dingin (freezer) dikemas menggunakan plastik PE karena
asap yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan sampel daging pada suhu
ruang. Metode penyimpanan refrigerasi adalah
penyimpanan pada suhu di atas titik beku daging, daya tahan bahan pangan yang disimpan
pada temperatur refrigerasi hanya sementara, yaitu berkisar dari antara
beberapa hari sampai beberapa minggu bergantung pada bagian daging dan
penanganan daging sebelumnya. Prinsip utama dari penanganan daging dengan cara
penyimpanan refregerasi yang harus diperhatikan adalah bahwa temperatur
penyimpanan daging harus tercapai secepat mungkin setelah pemotongan ternak
ataupun pengolahan. Suhu refrigerasi tidak dapat mematikan semua mikoorganisme
yang ada di dalam daging, tetapi hanya menghambat kecepatan pertumbuhan
miroorganisme dan reaksi-reaksi kimia dan biokimia di dalam daging, sehingga
penyimpanan cara ini disebut sebagai
usaha penyimpanan, bukan sebagai usaha pengawetan. Salah satu keuntungan dari
daging yang disimpan dengan cara refrigerasi adalah sifat organoleptik (rasa,
tekstur, kenampakkan, flavor, aroma) dan nilai gizinya hampir tidak dapat
dibedakan dengan karakteristik yang dimiliki daging segar. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyimpanan daging di dalam refrigerator, yaitu: panas spesifik daging,
berat dan ukuran daging, jumlah lemak yang ada pada permukaan daging, jumlah
daging di dalam ruang pendingin,
temperatur
alat pendingin. Dapat diamati
bahwa semakin lama daging disimpan maka akan semakin banyak asap dan gelembung
yang terbentuk, sehingga semakin busuk daging yang dihasilkan. Pembusukan ini
terjadi karena aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan
terjadi proses fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan amonia.
Kandungan zat-zat makanan di dalam daging mudah sekali rusak oleh lingkungan
sekitar, oleh
karena itu diperlukan penanganan yang baik.
Tabel 1.2 Hasil Pengamatan Uji pH pada Daging
Kelompok
|
Sampel
|
Plastik
|
pH hari ke
|
||
0
|
2
|
7
|
|||
1
|
Daging
disimpan suhu ruang
|
PP
|
7
|
8
|
9
|
2
|
Daging
disimpan suhu dingin
|
PE
|
7
|
7
|
8
|
3
|
Daging
disimpan suhu ruang
|
PE
|
7
|
8
|
9
|
4
|
Daging
disimpan suhu dingin
|
PP
|
7
|
7
|
8
|
Sumber: Laporan Sementara
Uji
kualitas produk daging yang kedua adalah uji pH. Prinsip kerja dari uji pH
adalah sampel dicincang, ditambah aquades dan diuji dengan menggunakan kertas
indicator pH. pH
merupakan faktor penentu dari pertumbuhan mikroba, maka pH akhir dari daging
sangat penting untuk ketahanan penyimpanan
daging. Nilai pH otot (otot
bergaris melintang atau otot skeletal atau yang disebut daging) saat hewan
hidup sekitar 7,0-7,2 (pH netral). Setelah hewan disembelih (mati), nilai
pH dalam otot (pH daging) akan menurun akibat adanya akumulasi asam
laktat. Penurunan nilai pH pada otot hewan yang sehat dan ditangani
dengan baik sebelum pemotongan akan berjalan secara bertahap, yaitu dari nilai
pH sekitar 7,0-7,2 akan mencapai nilai pH menurun secara bertahap dari
7,0 sampai 5,6 – 5,7 dalam waktu 6-8 jam postmortem dan akan mencapai nilai pH
akhir sekitar 5,5-5,6. Nilai pH akhir (ultimate pH value) adalah
nilai pH terendah yang dicapai pada otot setelah pemotongan (kematian).
Nilai pH daging tidak akan pernah mencapai nilai di bawah
5,3. Hal ini disebabkan karena pada nilai pH di bawah 5,3 enzim-enzim
yang terlibat dalam glikolisis anaerob tidak aktif berkerja. (Lukman, 2010).
Pada praktikum uji pH sampel
yang digunakan adalah daging yang disimpan pada suhu ruang dan daging yang
disimpan pada suhu dingin . Praktikum dilakukan dengan pengamatan selama
seminggu. Pengamatan hari ke-0, ke-2, dan ke-7. Pengamatan ini dilakukan dengan
menggunakan kertas indikator pH. Dari hasil praktikum uji pH sampel daging yang
disimpan pada suhu ruang untuk kelompok
satu didapatkan pH pada hari ke-0 adalah 7, hari ke-2 adalah 8 dan hari ke-7 9.
Begitu juga pada kelompok 3 dengan sampel yang sama pH yang dihasilkan juga
sama. Sedangkan pada sampel daging yang disimpan pada suhu dingin (freezer) pH
yang dihasilkan daging untuk kelompok 2
dan 4 sama. Pada hari ke-0 didapatkan pH 7, hari ke-2 pH yang dihasilkan
sebesar 7 dan untuk hari ke-7 pH yang dihasilkan sebesar 8. Dari hasil praktikum
tersebut penyimpanan yang baik adalah pada suhu freezer karena pH yang
dihasilkan tidak terlalu basa. Hasil praktikum ini jika dibandingkan dengan
teori tidak sesuai. Standar pH daging hewan sehat dan
cukup istirahat yang baru disembelih adalah 7-7,2 dan akan terus menurun selama
24 jam sampai beberapa hari. Jika terjadi pembusukan maka pH nya akan kembali
ke 7. Terbentuknya
asam laktat menyebabkan penurunan pH daging dan menyebabkan kerusakan struktur
protein otot dan kerusakan tersebut tergantung pada temperatur dan rendahnya
pH. Setelah hewan disembelih, penyedian oksigen otot terhenti. Dengan demikian
persediaan oksigen tidak lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat
dikeluarkan lagi dari otot. Jadi daging hewan yang sudah disembelih akan
mengalami penurunan pH (Purnomo dan Adiono, 1985).
Faktor-faktor yang menyebaban
ketidak sesuaian hasil praktikum dengan teori adalah kesalahan praktikan saat
melakukan uji. Pada beberapa hewan penurunan pH terjadi
pada jam-jam pertama setelah hewan dipotong, dan akan stabil pada pH sekitar
6,5 – 6,8. ada juga hewan dimana penurunan pHnya terjadi dengan cepat dan
mencapai 5,4 – 5,5 dalam jam pertama setelah eksanguinasi. Menurut Buckle et
al. (1987) pH akhir yang tercapai mempunyai pengaruh yang berarti dalam mutu
daging. pH rendah (5.1-6.1) menyebabkan daging mempunyai struktur terbuka
sehingga sangat baik untuk pengasinan, berwarna merah muda cerah sehingga
disukai oleh konsumen, mempunyai flavor yang lebih disukai dan mempunyai
stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan oleh mikroorganisme. pH tinggi
(6.2-7.2) menyebabkan daging mempunyai struktur tertutup atau padat dengan
warna merah ungu tua, rasa kurang enak dan keadaan yang lebih memungkinkan
untuk perkembangan mikroorganisme.
Dari seluruh hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa semakin
lama daging akan mengalami kerusakan atau sering disebut dengan pembusukan. Hampir
semua bakteri dapat tumbuh optimal pada pH 7 dan tidak akan tumbuh pada pH 4
atau pH di atas 9. Pembusukan
dapat terjadi karena aktivitas bakteri pembusuk meningkat dan terjadi proses
fermentasi oleh enzim-enzim yang membentuk asam sulfida dan ammonia. Pada umumnya, faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging ada dua macam yaitu faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik adalah
nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi dan ada
tidaknya substansi pengahalang atau penghambat. Faktor ekstrinsik, adalah temperatur, kelembaban
relatif, ada tidaknya oksigen dan bentuk atau kondisi daging (Fardiaz, 1992). Penanganan daging yang
baik harus dimulai sejak ternak itu sebelum dipotong, pada saat pemotongan dan
setelah pemotongan.
Tabel 1.3 Hasil Pengamatan Berat Daging Selama
Penyimpanan
Kelompok
|
Sampel
|
Berat (gram)
|
Keterangan
|
||
Hari ke 0
|
Hari ke 2
|
Hari ke 7
|
|||
1
|
Daging Segar
|
5
|
|
|
Suhu Ruang
|
Daging I
|
5
|
4,4
|
|
||
Daging II
|
5
|
4,4
|
3,4
|
||
2
|
Daging Segar
|
5
|
|
|
Suhu Refil
|
Daging I
|
5
|
3,9
|
|
||
Daging II
|
5
|
3,9
|
3,4
|
||
3
|
Daging Segar
|
5
|
|
|
Suhu Ruang
|
Daging I
|
5
|
3,7
|
|
||
Daging II
|
5
|
3,7
|
4,5
|
||
4
|
Daging Segar
|
5
|
|
|
Suhu Refil
|
Daging I
|
5
|
4,5
|
|
||
Daging II
|
5
|
4,5
|
3,3
|
Sumber: Laporan Sementara
Pengamatan berat daging
sealama penyimpanan bertujuan untuk mengetahui apakah ada perubahan berat
selama penyimpanan. Menurut Wismer-Pedersen (1971), kenaikan berat dapat
terjadi karena peran mikroorganisme yang ada di daging terutama mikroorganisme
pembusuk. Daya ikat air oleh protein disebut WHC (Water Holding Capacity) yaitu
kemampuan daging untuk menahan air yang ditambahkan selama ada pengaruh
kekuatan, misalnya pemotongan daging, pemanasan, penggilingan, dan tekanan. Pada
praktikum acara I untuk mengetahui kualitas daging selain dengan menggunakan
uji eber dan uji pH juga dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap berat
daging selama penyimpanan. Sampel yang digunakan dalam acara ini adalah
menggunakan daging yang masih segar dengan berat 5 gram daging sapi, tetapi
untuk kelompok 1 dan 3 daging disimpan pada suhu ruang, sedangkan untuk
kelompok 2 dan 4 daging disimpan pada suhu refill atau dingin. Selain itu
kemasan yang digunakan untuk penyimpanan daging juga berbeda untuk kelompok 2
dan 3 menggunakan plastik PE sedangkan kelompok 1 dan 4 menggunakan plastik PP.
Penyimpanan daging dilakukan selama 7 hari dan diamati 3 kali yaitu pada hari
ke-0, 2 dan ke-7. Mekanisme kerja dari pengamatan berat daging selama
penyimpanan adalah pertama daging dipotong dan ditimbang sebesar 5 gram,
kemudian daging dikemas menggunakan plastik dan disimpan pada perlakuan
penyimpanan masing-masing yaitu pada suhu dingin (refill) dan suhu ruang.
Dilakukan pengamatan pada hari ke-0, 2 dan 7 dengan menimbang sampel sesuai
perlakuan masing-masing.
Dari hasil praktikum yang telah dilaksanakan untu
kelompok 1 daging yang disimpan pada suhu ruang dengan menggunakan plastik PP
pada hari ke-2 dihasilkan berat sebesar 4,4 gram, hari ke-7 sebesar 3,4 gram. Sedangkan
untuk kelompok 3 dengan sampel dan suhu penyimpanan yang sama tetapi
menggunakan plastik PE pada hari ke-2 didapatkan berat sebesar 3,7 gram dan
hari ke-7 4,5 gram. Untuk kelompok 2 dengan sampel daging disimpan pada suhu
refil menggunakan plastik PP didapatkan berat untuk hari ke-2 sebesar 3,9 gram,
hari ke-7 3,4 gram. Sedangkan kelompok 4 dengan menggunakan plastik PP, untuk
hari ke-2 beratnya sebesar 4,5 gram dan hari ke-7 beratnya sebesar 3,3 gram
Dari hasil tersebut susut berat yang paling tinggi adalah daging yang disimpan
pada suhu refil dengan menggunakan platik PP. Sedangkan daging yang mengalami
penyusutan berat yang paling sedikit adalah daging yang disimpan pada suhu
ruang dengan menggunakan plastik PE. Dapat disimpulakan bahwa kualitas daging
yang baik adalah daging yang disimpan dengan menggunakan plastik PP pada suhu
dingin atau refill. Sedangkan daging yang kualitasnya paling buruk adalah
daging yang disimpan dengan menggunakan plastik PE pada suhu ruang. Hal ini
sudah sesuai dengan teori. Bahwa
daging yang disimpan pada suhu dingin terjadi proses penguapan dari dalam daging dan
keluarnya weep dari dalam daging sehingga akan menurunkan kadar air
dalam daging. Penurunan kadar air mempengaruhi berat daging. Semakin rendah
suhu penyimpanan daging maka semakin banyak kadar air yang hilang sehingga
daging menjadi keriput. Penyimpanan pada suhu ruang menyebabkan daging cepat
rusak akibat dari bertambahnya kadar air pada daging. Bertambahnya kadar air
pada daging disebabkan karena daging mampu menahan air yang
ditambahkan selama ada pengaruh kekuatan, misalnya pemotongan daging,
pemanasan, penggilingan, dan tekanan.Hal
tersebut dapat menyebabkan mikroba dapat tumbuh dan berkembang biak terutama
mikroba pembusuk (Forrest, 1975).